Pacak Nian Artinya Palembang

Pacak Nian Artinya Palembang

Descendants of Mahmud Badaruddin II (2003 - present day)

Establishment and early records

According to the story of Kidung Pamacangah and Babad Arya Tabanan[2] it was said that a figure from Kediri named Arya Damar who was a "regent of Palembang" joined Gajah Mada, ruler of Majapahit in conquering Bali in 1343. Historian C.C. Berg thought that Arya Damar was identical to Adityawarman. The name Palembang was also mentioned in Nagarakretagama as one of the conquered lands of Majapahit. Gajah Mada also mentioned the name Palembang in Pararaton as one of the regions that he conquered.

A Chinese chronicle Chu-fan-chi written in 1178 by Chou-Ju-Kua recorded the name Pa-lin-fong, a reference to Palembang. Around 1513, Tomé Pires an adventurer from Portugal mentioned Palembang, a kingdom which is led by a patron who was appointed from Java and was then referred to as the Sultanate of Demak and participated in the invasion of Portuguese Controlled Melaka. In 1596, Palembang was attacked and razed by the Dutch East India Company. In 1659, the name Sri Susuhunan Abdurrahman was recorded as sovereign of the Palembang Sultanate. Records of connection with the VOC have been mentioned since the year 1601.

At the beginning of the 17th century, Palembang became one of the centers of Islam in Indonesia. The precursor of the sultanate in Palembang was founded by Ki Gede ing Suro, a nobleman from the Demak Sultanate, who took refuge in friendly Palembang during the troubles following the death of Trenggana of Demak. On the north bank of the Musi River, he and the nobilities established a kraton, the Kuto Gawang. It was located quite strategically on the riverfront of the Musi, in the present 2-Ilir District, within what is now the complex of PT. Pupuk Sriwidjaja, a state-run fertilizer manufacturer. The Kraton of Kuto Gawang was surrounded by a square-shaped fortification made of 30 centimetres (12 in) thick ironwood and ulin wood. It is described to be about 290 Rijnlandsche roede (1093 meters) in length and width. The height of the wooden ramparts is more than 24 feet (7.3 m). The Kraton stretches between what is now Plaju and Pulau Kemaro, a small island located in the middle of the Musi River.[5]

The Kraton of Kuto Gawang was sketched by Joan van der Laen in 1659. The sketch shows a fortified city facing the Musi River with the Rengas River running through the middle part of the city from north to south. The Taligawe River is located to the east of Kuto Gawang, while to the west is the Buah River. In the middle of Kuto Gawang is a structure, possibly a mosque, located to the west of the Rengas River. The Kraton was described to also have three stone bastions. Foreigners (e.g. the Chinese and Portuguese) were known to settle on the banks of the Musi River opposite of the Kraton, to the west of the mouth of the Komering River.[5]

In 1659, the Dutch of the Dutch East India Company attacked and razed Kraton Kuto Gawang. The Susuhunan (king) Abdurrahman later moved his court to a new site called Beringin Janggut.[5]

Tempat Pekerjaan Menemukanmu !

Early modern Sumatran sultanate

The Sultanate of Palembang Darussalam (Malay: كسلطانن ڤلمبڠ دارالسلام) was a sultanate in Indonesia whose capital was the city of Palembang in the southern part of the Indonesian island of Sumatra.[1] It was proclaimed in 1659 by Susuhunan Abdurrahman (1659–1706) and dissolved by the colonial government of the Dutch East Indies on October 7, 1823. In 1825, its last ruler, Sultan Ahmad Najamuddin, was arrested and sent into exile on the island of Banda Neira in the Moluccas.

Lists of Sultans of Palembang

Kraton Kuto Tengkuruk

During the reign of Sultan Mahmud Badaruddin I, the fifty-hectares wide Kraton Kuto Tengkuruk or Kuto Lamo (lit. 'old palace') became the main center of the Palembang Sultanate. Kraton Kuto Tengkuruk was bordered with Kapuran River (now Pasar Cinde) to the north, Tengkuruk River to the east (in what is now the complex of Pupuk Sriwidjaja Palembang), River Musi to the south, and Sekanak River (now Lambidaro River in 36 Ilir) to the west. The landmarks of Kraton Kuto Tengkuruk were the domed Great Mosque and the palace proper of Kuto Batu / Kuto Tengkuruk.[5] Sultan Muhammad Bahauddin (reigned 1776–1803) had Kuto Besak's palace built. In 1821, the Dutch attacked Palembang again and annexed the city. The sultanate is dissolved and the fort of Kuto Tengkuruk, deconstructed. The Dutch have built in its place an administrative residence which is now the Sultan Mahmud Badaruddin II museum.

Terus, Kenapa Naga Akhirnya Jadi Simbol Imlek dan Barongsai?

Naga Nian kan dikenal sebagai monster di masyarakat Tiongkok, ya. Terus, kok bisa sih jadi simbol Imlek?

Menurut Tribunnews, naga dikenal jadi salah satu simbol di hari raya Imlek karena masyarakat Tiongkok percaya kalau ia merupakan salah satu binatang shio yang mewakili kekuatan, keberanian, pendirian teguh, dan kebaikan.

Bahkan pada mitologi China, naga juga mewakili lambang keamanan, waspada, dan binatang yang menjadi raja dari seluruh binatang lainnya. Keren banget, ya? Makanya naga jadi salah satu simbol Imlek.

Makanya, setiap hari raya Imlek biasanya identik dengan pertunjukan tarian barongsai naga atau singa.

Soalnya, masyarakat Tiongkok percaya kalau lambang naga bisa membawa hal-hal baik untuk mereka di tahun yang baru tersebut.

Gimana, Sobat Zenius? Menarik banget, kan? Kalau elo sendiri, binatang Imlek apa sih yang paling bikin tertarik? Yuk, bagi-bagi pengalaman di kolom komentar!

Baca juga: Mengenal Super Immunity dan Cara Virus Corona Menyerang Tubuh

Chinese New Year: celebrate the coming of spring – Live Science (2018)

Chinese New Year: What is it and how is it celebrated? – BBC News (2022)

Chinese New Year customs you need to know – The Jakarta Post (2017)

Atraksi Barongsai di Seaworld – Suara (2022)

Chinese New Year Story – Legend of Monster Nian – Travel China Guide (2018)

Do you … know the legend of Nian monster? – The Star (2017)

Top 3 Famous Chinese New Year Stories: the “Nian” Monster – China Highlights (2022)

Imlek, Naga Simbol Kewaspadaan dan Keamanan – Tribunnews (2012)

Why is there always a dragon or lion dance in Chinese New Year parades and celebrations? – Metro (2018)

Apa Itu Tahun Baru Imlek?

Sebelum gue bahas lebih jauh tentang cerita di balik naganya, elo sendiri kira-kira udah tahu belum nih, apa itu tahun baru Imlek?

Dilansir dari Live Science, hari raya Imlek merupakan Festival Musim Semi yang dirayakan di antara bulan Januari atau Februari mengikuti kalender lunisolar.

Nah, kalender lunisolar ini merupakan kombinasi antara kalender bulan yang dikombinasikan dengan komponen matahari supaya bisa memperhitungkan penyimpangan.

Eits, tapi kalendar ini berbeda ya sama kalender Gregorian (diperhitungkan saat orbit Bumi mengelilingi matahari) yang memiliki tahun kabisat. Jadi, tentunya ada perbedaan antara ketentuan tanggalnya.

Kalau elo mau tahu lebih banyak soal sejarah Imlek, bisa banget cek di Sejarah Hari Raya Imlek, Perjalanan Perayaan Antar Dinasti hingga Kini, ya.

Ibaratnya nih, kita kan punya tahun baru bersama yang dirayakan dunia tanggal 31 Desember menuju 1 Januari. Nah, begitu pun dengan Imlek yang dirayakan di beberapa negara dengan mayoritas masyarakat Tiongkok seperti Singapura, Eropa, sampai Indonesia.

Menurut BBC, tujuan perayaan Imlek di setiap tahunnya ini dipercaya untuk membawa keberuntungan dan kemakmuran di tahun yang baru.

Biasanya, ada beberapa tradisi dan lambang Imlek yang dikenal banget secara turun-menurun. Apa aja?

Lho, apa hubungannya antara Imlek sama binatang?

Soalnya, ada 12 binatang yang mewakili kepribadian masing-masing. Simpelnya, masyarakat China punya astrologi sendiri yang biasa dikenal dengan shio sebagai lambang Imlek.

Nah, salah satu binatang terkenalnya yaitu naga yang sering kita lihat jadi barongsai, atau gambarnya sering dilihat di amplop angpao.

Bahkan, masyarakat Tiongkok punya cerita tersendiri di balik simbol naga Imlek, lho. Penasaran nggak, sih? Yuk, gue ceritain mitosnya!

Baca juga: Kenapa Setiap Tahun Hari Idul Fitri Selalu Berbeda?

Jadi, sebenarnya legenda atau mitos naga Nian ini terkenal banget di kalangan masyarakat Tiongkok.

Makanya, tiap tahun baru ini biasanya masyarakat langsung cari tempat untuk bersembunyi dari naga Nian, hingga kondisi desa jadi gelap gulita.

Namun, ada cerita unik dari legenda ini. Di tengah kondisi orang berlari-lari untuk sembunyi, ada kakek-kakek pengemis dari luar desa yang berani untuk tinggal sendiri di desa itu menyambut kedatangan naga Nian.

Pas tengah malam ketika naga Nian masuk ke desa, Nian melihat ada satu rumah yang nyala lampunya. Biasanya kalau dia datang, semua lampu padam. Tapi, ini kok, ada satu yang nyala, ya?

Bukan cuma lampunya aja bahkan ada lilin-lilin yang menyala, ada banyak kertas merah yang ditempel di rumah tersebut.

Melihat hal itu, naga Nian langsung gemetar dan marah, lalu menuju ke pintu depan rumah tersebut. Tapi, tiba-tiba ada suara retakan berbunyi kencang banget di halaman sampai membuat Nian kaget dan nggak berani buat mendekat.

Akhirnya, pintu rumah tersebut kebuka dan ada kakek pengemis yang keluar memakai baju merah.

Nah, dari situlah akhirnya naga Nian kabur dan lelaki tua itu berhasil menaklukannya. Wow, si kakek ini udah kayak superhero, ya? Keren!

Keesokannya, masyarakat desa pulang ke rumah masing-masing dan kaget.

Kok, nggak ada rumah yang dirusak sama naga Nian?

Akhirnya, penduduk melihat satu rumah yang terang benderang dan sadar kalau kunci mengusir naga Nian yaitu menempel kertas berwarna merah di dinding dan pintu, menyalakan lilin, serta membakar bambu.

Sejak saat itu juga, di hari raya Imlek biasanya masyarakat Tiongkok menempelkan kertas berisi bait sajak berwarna merah, menyalakan lilin, membakar bambu dan kembang api buat mengusir roh-roh jahat yang datang.

Wah, seru banget nggak sih, ceritanya? Gue merasa merinding dan deg-degan juga deh bacanya.

Baca juga: Quarter Life Crisis, Keresahan Tentang Masa Depan

Sultanate of Palembang Darussalam (1659–1823)

Javascript tidak aktif!

Website ini memerlukan javascript untuk dapat berfungsi dengan baik.

Tolong aktifkan javascript pada browser anda.

Jarak antara kota Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia dan Jambi, Jambi, Indonesia di jalan umum adalah — km atau mil. Jarak antara titik-titik dalam koordinat — 201 km atau 120.6 mil. Untuk mengatasi jarak ini dengan kecepatan kendaraan rata-rata 80 km / jam membutuhkan — 2.5 jam atau 150.8 menit.

Panjang jarak ini adalah tentang 0.5% total panjang khatulistiwa. Pesawat Airbus A380 akan terbang jarak di 0.2 jam, dan kereta 2.9 jam (Ada kereta berkecepatan tinggi).

Awal Juli 2022, Ferdy Sambo masih memegang jabatan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri dengan pangkat Irjen alias Jenderal Polisi Bintang Dua. Saat itu Ferdy Sambo masih memiliki pengaruh dan power yang sangat besar.

Tak sedikit orang yang mengatakan bahwa Ferdy Sambo "Jenderal Bintang Dua rasa Bintang Lima". Dari kalimat itu juga tergambar jelas bagaimana pengaruh dan power yang dimiliki Ferdy Sambo.

Namun siapa sangka satu bulan kemudian jabatan Kadiv Propam Polri yang diduduki Ferdy Sambo itu hilang. Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mencopot Ferdy Sambo sebagai Kadiv Propam Polri. Hal itu sebagaimana tertuang dalam surat telegram nomor 1628/VIII/KEP/2022 tanggal 4 Agustus 2022.

Lima hari setelah dicopot sebagai Kadiv Propam Polri, Ferdy Sambo kemudian menyandang status tersangka terkait kematian Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J. Status tersangka resmi disandang Ferdy Sambo pada tanggal 9 Agustus 2022.

Ferdy Sambo pun dijerat pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana subsider Pasal 338 KUHP junto pasal 55 dan pasal 56 KUHP. Ferdy Sambo menghadapi ancaman maksimal hukuman mati atau penjara seumur hidup atau selama-lamanya 20 tahun.

Ferdy Sambo semakin terpuruk. Jabatan, kekuasaan, dan kehidupan yang nyaman hilang dalam hitungan waktu yang sekejap.

Kemudian tak lama setelah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus Brigadir J, tanggal 26 Agustus 2022 Ferdy Sambo diberhentikan dengan tidak hormat alias di-PTDH-kan dari anggota kepolisian. Artinya sejak hari itu Ferdy Sambo bukan lagi seorang polisi.

Ferdy Sambo yang memiliki jabatan penting, memiliki pengaruh dan kekuasaan yang besar, dihormati dan disegani, serta karir yang moncer kini tiada lagi. Ferdy Sambo berubah menjadi pesakitan. Hukuman mati atau penjara seumur hidup menanti di depan mata.

Tak hanya Ferdy Sambo, sang istri Putri Candrawathi (PC) pun demikian. Sebagaimana sang suami, PC pun kehilangan segalanya. PC kehilangan kekuasaan dan kehidupan yang nyaman. Semua hilang dalam hitungan waktu yang tidak lama.

Ferdy Sambo dan PC benar-benar bernasib malang. Hal itu karena tidak bisa mengendalikan diri, yaitu menghilangkan nyawa orang lain, semua harus dibayar mahal dengan semua yang mereka miliki.

Lihat Humaniora Selengkapnya

Selamat tahun baru China, Sobat Zenius!

Kalau menurut elo, kira-kira hal apa sih yang mengingatkan sama tahun baru Imlek?

Coba gue tebak ya .… Hal pertama yang membuat elo merasa excited mungkin tao hongbao atau angpao, kue bulan, atau malah barongsai?

Hmm … memang itu sudah dikenal menjadi tradisi dari tahun ke tahunnya, sih.

Simpelnya nih, kalau elo pergi ke tempat umum atau bahkan mall pas tahun baru Imlek sebelum adanya virus Covid-19, biasanya ada tuh pameran tarian barongsai naga yang menghibur pengunjung.

Memang sih, di tahun 2021 lalu, pameran barongsai ini sempat ditiadakan karena melonjaknya penyebaran virus.

Tapi, di tahun 2022, dengan kasus Covid-19 yang tidak separah tahun lalu, beberapa mall sekitar Jakarta sudah mulai menayangkan pertunjukkan barongsai lagi lho, seperti Ciputra dan Summarecon Bekasi.

Bahkan, Ancol menghadirkan atraksi barongsai naga dan singa secara underwater di Sea World. Jadi, ingin pergi juga, nggak?

Eh, tapi, memangnya ada ya, hubungan antara naga sama Imlek? Kok, sampai identik banget ya, setiap Imlek pasti ada simbol naga di mana-mana?

Yuk, kepoin artikel ini sampai habis, ya!

Baca juga: Serba-serbi Perayaan Tahun Baru Imlek di Indonesia

Kraton Kuto Besak (1797–1823)

During the reign of Sultan Muhamad Bahaudin (1776–1803), the Kraton Kuto Besak (lit. 'great palace') was built, and was completed in 1797. It is the largest kraton the Palembang Sultanate had built and the only remaining kraton today. Renovations over time have altered the appearance of the kraton. Kuto Besak was located to the west of the site of old Kuto Tengkuruk. The site of Kuto Besak has a length of 288.75 meters, width of 183.75 meters, wall heightof 9.99 meters, and wall thickness of 1.99 meters which ran long east–west direction (upstream-downstream Musi). In every corner of the fortification wall are bastions, and the portal to the fortified city is located on the eastern, southern, and western sides. The southern portal is the main gate, known as Lawang Kuto. The secondary portals are known as Lawang Buratan, one portal still exists to the west of the Kuto Besak in present time.[5]

Following the Palembang War of 1821 and the dissolution of the Sultanate on 7 October 1823, the Kuto Tengkuruk was demolished.

Following the deconstruction Kuto Tengkuruk, under the order of van Sevenhoven,[6] a new building was constructed and was established as the residence of the Regeering Commissaris. The building is now Sultan Mahmud Badaruddin II Museum.

The Sultanate of Palembang was involved in skirmishes with the Dutch Colonial Empire and the private joint-stock companies such as the Dutch East India Company. After losing control of Palembang following a series of skirmishes and ambushes with Sultanate forces,[7] the Dutch gave way briefly to the British installed government of Indonesia.(which was not formally recognized by much of Indonesia, including Palembang)

Specific Conflicts include the 1811 attack on a Dutch Fort garrison off the cost of the Musi River led by Sultanate forces.[8] There was an investigation carried out by Dutch officials to determine whether British official Thomas Stamford Raffles coordinated with Sultan Mahmud Badaruddin II to conduct the operation. Results found copies letters between Raffles and Sultan Mahmud Badaruddin II but without unquestionable evidence.[7][8]

The First Expedition to Palembang in 1819 resulted in the defeat of Dutch forces invading Palembang in 1819. Leaders of the conflict included Constantijn Johan Wolterbeek and Sultan Mahmud Badaruddin II. Accounts from Johan Wolterbeek mention that the heavily fortified coasts of the rivers of Palembang prevented Naval assault, thus halting the expedition. Neither side of the conflict obtained casualties in direct relation to combat on either side.

The Second Expedition to Palembang in 1821 resulted in the defeat of the Sultanate of Palembang defending against Dutch forces. Leaders of the conflict included Hendrik Merkus de Kock and Sultan Mahmud Badaruddin II. In collaboration with information gathered by Wolterbeek, the Second Expedition was successful. The political result would be the transfer of power from the Sultanate to the Dutch Colonial Government and in 1823, the dissolvement of the Sultanate in total.

Dutch rule would last from June 1821 to December 27, 1949.[9]